Kamis, 15 Mei 2014

Resensi buku Senyum Karyamin

Senyum Karyamin adalah kisah pertama sekaligus judul yang dipilih Ahmad Tohari untuk kumpulan cerita pendek ini. Bercerita tentang seorang pemuda pengangkat batu kali yang bernama Karyamin. Karyamin dan kawan-kawannya setiap hari harus mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material. Kesewenang-wenangan para tengkulak mempermainkan harga batu membuat kehidupan Karyamin dan kawan-kawannya tak menjauh dari kemiskinan dan kelaparan. Para pengumpul batu itu senang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri. Itu adalah cara mereka untuk bertahan hidup. “Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan (halaman 3).”

Pagi itu seperti biasa Karyamin mengangkut batu bersama kawan-kawannya. Namun beberapa kali ia tergelincir. Ia merasakan matanya berkunang-kunang dan perutnya melilit. Setiap kali tubuh Karyamin meluncur dan jatuh terduduk, beberapa kawannya terbahak bersama. Ketika bibir Karyamin nyaris membiru dan pening di kepalanya semakin menghebat menahan rasa lapar yang menggigit, Karyamin memutuskan untuk pulang walaupun ia tahu tak ada apapun untuk mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Kegetiran Karyamin semakin menjadi ketika sesampainya di rumah Pak Pamong menagih sumbangan dana Afrika untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana.

Ironis, begitu barangkali membaca kisah Karyamin. Serupa dengan kedua belas cerita pendek lainnya di dalam buku ini, Ahmad Tohari mendekatkan pembacanya melalui cerita kehidupan orang-orang kecil yang lugu dan sederhana. Melalui tokoh-tokoh sentral ceritanya yang berasal dari kalangan wong cilik itu Tohari seolah ingin menyampaikan pesan sebuah tanggung jawab kemanusiaan. Dan mengutip kalimat di Prakata, “Inilah pesan persaudaraan yang berwawasan lintas budaya dan lintas derajat antar makhluk.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar